title cover

title cover

Monday, April 11, 2011

Headline News 11.04.11

US & GLOBAL 
• Bursa saham AS ditutup melemah akhir pekan lalu tertekan lonjakan harga minyak yang meningkatkan kekhawatiran bahwa inflasi akan
menghambat pemulihan ekonomi, kondisi mana menurunkan minat investor ditengah kehati‐hatian menjelang rilis earning korporasi.
Kenaikan harga minyak menekan saham‐saham penerbangan dan transportasi AS. Volume perdagangan masih tetap rendah, pertanda
bahwa investor menahan diri menjelang rilis earning kuartalan awal pekan depan. Indeks Dow Jones <DJI.> turun 29,44 poin atau 0,24%
ke 12,380.05, S&P500 <. SPX> turun 5,34 poin atau 0,40% ke 1,328.17 dan Nasdaq <. IXIC> turun 15,72 poin atau 0,56% ke 2,780.42.
Dalam sepekan terakhir, Dow Jones tercatat naik 0,03%, sedangkan S&P500 dan Nasdaq masing‐masing turun 0,3%.
 

• Harga emas naik ke rekor tertinggi sepanjang sejarah menyusul kombinasi dari pelemahan dollar AS, ancaman penghentian aktifitas
pegawai pemerintah AS dan kekhawatiran akan inflasi yang mengangkat kinerja logam mulia tersebut. Emas mencapai kenaikan terbesar
mingguan dalam 4‐bulan (sebesar 2,5%), mendapat dukungan dari meningkatnya kekhawatiran pada kondisi Uni‐Eropa dan tekanan
inflasi.
 

• Emas mencatat kenaikan 10% sejak Januari menyusul kerusuhan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Harga spot emas <XAU=> naik
1% ke 1,471.74 USD per troy ounce setelah sempat naik hingga 1,474.85 USD per troy ounce. Namun demikian, emas masih jauh dari
level inflation adjusted high‐nya, dimana jika disesuaikan dengan tingkat inflasi saat ini maka harga emas seharusnya berada pada kisaran
2.500 USD per troy ounce.
 

• Harga minyak mentah Brent melonjak hampir 3% kelevel tertinggi dalam 32‐bulan terakhir di atas 126 USD per barel, sementara Crude
AS naik hingga 112 USD per barel terdorong pelemahan dollar AS dan serangan terhadap ladang minyak Libya yang berpotensi
memangkas pasokan minyak jangka panjang. Selain konflik Libya, kerusuhan yang sedang berlangsung di Timur Tengah dan serangan
bom yang ditujukan untuk menunda pemilu Nigeria menambah kekhawatiran akan pasokan minyak.
 

• Minyak mentah Brent untuk Mei <LCOc1> naik 3,28 USD menjadi 125,95 USD per barel, setelah mencapai 126,40 USD per barel, harga
tertinggi sejak Agustus 2008. Sementara harga minyak mentah Crude AS <CLc1> naik 2,08 USD menjadi 112,38 USD per barel setelah
mencapai 112,58 USD per barel, level tertinggi sejak September 2008.
 

• Euro naik ke level tertinggi 15‐bulan terhadap dolar AS, mencatat kenaikan 1,7% dalam sepekan terakhir. Hingga akhir sesi Jumat, euro
tercatat menguat 1,1% ke 1,4478 <EUR=> setelah sempat naik hingga 1,4488, level tertinggi sejak 15‐bulan. Prospek penutupan kegiatan
pemerintahan AS yang akan menghentikan sekitar 800.000 pekerja pemerintah federal akan berdampak buruk pada pemulihan ekonomi
AS dan akan memberi tekanan pada dollar AS.
 

• Terhadap yen, dollar AS turun 0,1% ke 84,76 yen <JPY=>, analis memperkirakan yen akan melanjutkan pelemahannya lebih lanjut seiring
ekspektasi Bank of Japan akan terus mempertahankan kebijakan moneter stimulatif lebih lama setelah terjadinya gempa dan krisis nuklir.
Aussie dollar naik hingga level tertinggi sejak 1983 di 1,0582 <AUD=>. Kinerja aussie mendapat manfaat dari pertumbuhan ekonomi
Australia yang cukup kuat didukung oleh ekspor bahan baku ke China.
 

• Ekspektasi semakin besarnya rentang suku bunga ECB dengan bank sentral lainnya diperkirakan akan mendukung kinerja euro dalam
sepekan kedepan, sementara investor akan memperhatikan rilis data inflasi AS yang akan menjadi salah satu landasan penentuan
kebijakan The Fed. Investor juga akan mengamati rilis data penjualan ritel AS untuk Maret untuk mengukur kekuatan belanja konsumen.
 

• Dollar AS mengalami tekanan hebat setelah Gedung Putih dan Kongres AS mengalami kebingungan dalam upaya menangani deadlock
persetujuan anggaran AS hingga akhir pekan lalu untuk menghindari penghentian aktifitas pemerintah. Tanpa persetujuan pada anggaran
baru, pemerintah harus menghentikan segala kegiatan pada tengah malam hari Jumat waktu setempat (sekitar Sabtu tengah hari WIB).
Jika hal itu terjadi, sekitar 800.000 pegawai pemerintah AS tidak boleh bekerja dan tidak akan digaji, pemberian pinjaman oleh
pemerintah akan berhenti dan taman nasional serta situs‐situs yang dikelola pemerintah akan tutup. Ketegangan antara anggota Kongres
dari Partai Demokrat dan Republik dilaporkan meningkat saat mereka mencoba mencapai kata sepakat mengenai anggaran.



GOLD & COMMODITIES 
• Emas naik untuk mencapai level tertingginya empat hari dan perak menguat Jumat lalu, karena melemahnya dollar AS, prospek pada
U.S. government shutdown dan kekhawatiran inflasi yang mendorong bullion/emas diatas level $1470 per ons.
 

• Emas membuat kenaikan besar mingguannya dalam empat bulan, yang menggambarkan dukungan dari mengemukanya kembali
sovereign debt zona euro ditengah krisis keuangan Portugal dan gejolak inflasi karena crude oil dan corn mencapai level tertinggi
barunya minggu ini.
 

• Pada sisi grafik teknikal, emas mencapai level diatas level utama dan dapat mencapai target diatas $1500 per ons. Harga logam telah
naik lebih dari 10 persen sejak akhir Januari ketika gejolak politik mulai melebar pada Timur Tengah dan Afrika Utara.
 

• "With the expected future inflation being higher in this low interest rate environment, investors are more inclined to have some
contributions to commodities as an inflation hedge," kata Hakan Kaya, commodities portfolio manager pada Neuberger Berman, yang
mengelola sekitar $190 milyar aset‐aset klien.
 

• Spot gold <XAU=> naik ke level $1474,19 per ons dan terakhir naik 1 persen ke level $1472,70 per ons pada pukul 11:18 a.m. EDT (1518
GMT).
 

• Silver <XAG=> naik 2.3 persen ke level $40.40 per ons, menghentikan level tertingginya $40.44.

As worry list grows, G20 gets wonky


WASHINGTON | Sun Apr 10, 2011 4:59pm EDT
WASHINGTON (Reuters) - While the world watches revolutions in the Arab world and a nuclear crisis in Japan, the Group of 20 is engrossed in an esoteric debate over something called indicative guidelines.

The club of rich and emerging economies banded together at the height of the financial crisis and earned praise for swiftly putting in place policies that helped prevent a repeat of the Great Depression.

But as a new list of potential economic dangers grows, the G20 seems to have few immediate answers.
Instead, finance leaders meeting in Washington this week are likely to tout progress on establishing guidelines to measure imbalances between major exporters and importers.

Andrew Kenningham, senior international economist at Capital Economics in London, said the G20 had "gone done a cul de sac" that distracted it from the global economic stability issues it was meant to address.

"It will be increasingly difficult to disguise the fact that there is no agreement on macroeconomic coordination at a global level," he said. "The G20 is struggling to find a useful role for itself, no matter how frequently it meets."

The G20 lost its crisis-forged cohesion last year as different countries recovered at different rates, generating different policy priorities.

That has made it difficult for leaders to follow through on a promise they made back in 2009 to work together to smooth out imbalances. The idea was that consumer-driven economies such as the United States would save and invest more, while export powerhouses like China would develop domestic demand.

When it came time to set specifics, however, the G20 unity broke down. When they could not agree on any numerical targets, they set their sights on "indicative guidelines" instead, and even those have become a source of friction.

Kenningham said the G20 will have to show some progress this week that puts it on track to deliver something that leaders can sign at a November summit.

That means finance ministers will probably find some way to set aside their differences and establish broad guidelines, but leave agreement on the details for a later discussion.

SLIPPING ON OIL

With oil at its highest level since 2008's record-setting run, finance leaders will no doubt acknowledge economic risks in a statement released at the conclusion of the G20 meeting on Friday.

The International Monetary Fund, which holds its twice-yearly meeting on the weekend, is scheduled to release its economic outlook on Monday. The Fund warned last week of long-term oil scarcity that could lead to persistently higher prices.

At $126 per barrel, oil prices are high enough to threaten world economic growth, and some economists predict they will continue to creep higher. If oil prices average $150 per barrel over the next three months, it would erase three-quarters of a percentage point from global growth, Barclays Capital estimated.
A slew of data this week will offer some clues on how hard the oil price spike has hit economies.

Wednesday brings U.S. retail sales for March, which may provide the first hint that steep gasoline prices are cutting into consumer spending. Economists polled by Reuters are looking for a gain of 0.5 percent, which would be half the growth rate recorded in February, and much of the gain may come from rising prices rather than demand.

China releases a report on its first-quarter gross domestic product on Friday, and it is expected to show growth eased a tad to a still-lofty 9.5 percent. China has clamped down on credit conditions to try to cool inflation, which will likely constrain growth.
"Policymakers may have to choose between higher inflation and lower growth," said Luca Ricci, a Barclays analyst in New York.